BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampah
di daerah pesisir merupakan salah satu permasalahan kompleks yang dihadapi oleh
suatu daerah yang berada dekat dengan pantai atau pesisir. Salah satu limbah plastik yang dapat
mempengaruhi siklus makanan di wilayah pesisir dan laut adalah mikroplastik.
Mikroplastik merupakan salah satu bagian dari sampah lautan yang apabila
menumpuk di wilayah perairan akan menyebabkan terganggunya rantai makanan pada
ikan. Berdasarkan analisis deskriptif, perbedaan kedalaman pengambilan sedimen
mikroplastik tidak mempengaruhi kelimpahan mikroplastik (Bangun, 2017).
Mikroplastik berpotensi mengancam lebih serius dibanding
dengan material plastik yang berukuran besar sebagai organisme yang mendiami tingkatan tropik yang
lebih rendah, seperti plankton yang mempunyai partikel rentan terhadap proses
pencernaan mikroplastik sebagai akibatnya dapat mempengaruhi organisme tropik
tingkat tinggi melalui proses bioakumulasi. Hasil uji laboratorium menunjukan
bahwa mikroplastik dapat dicerna oleh organisme laut ketika salah satu partikel
dari mikroplastik dapat menyerupai makanan (Kumoro, 2014).
Sampah
merupakan masalah bagi masyarakat di seluruh dunia, baik sampah yang berasal
dari daratan maupun lautan. Salah satu
jenis sampah yang paling banyak terdapat di wilayah daratan dan lautan adalah
sampah plastik. Plastik merupakan tipe sampah laut dominan. Sampah laut (marine
debris) dapat didefinisikan sebagai benda padat, diproduksi atau diproses oleh
manusia, secara langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja,
dibuang atau ditinggalkan di dalam lingkungan laut. Kira-kira 10% dari semua
plastik yang baru diproduksi akan dibuang melalui sungai dan berakhir di laut
(Pratomo, 2011).
Potensi
dampak sampah laut secara kimia cenderung meningkat seiring menurunnya ukuran
partikel plastik (mikroplastik), sedangkan efek secara fisik meningkat seiring
meningkatnya ukuran makrodebris. Ditinjau dari sudut keindahan, sampah yang
berserakan di jalan pada dasarnya mengganggu pemandangan mata. Selain itu,
sampah juga mengganggu dalam segi kesehatan lingkungan. Hal tersebut berdampak
negatif terhadap lingkungan sekitar termasuk hewan dan manusia karena memiliki
konsentrasi dan kuantitas tertentu. Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola
konsumsi, dan gaya hidup masyarakat telah meningkatkan jumlah timbulan sampah
(Edward, 2014).
Pencemaran
plastik di wilayah pesisir merupakan salah satu topik yang mendapat perhatian
lebih selama bebrapa tahun terakhir. Zona intertidal adalah daerah perairan
yang terkena dampak langsung dari kontaminasi sampah plastik dari daratan dan
laut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis jenis dan kelimpahan
sampah plastik di zona intertidal dan dampaknya terhadap kelimpahan
makrozoobentos. Akibat belum adanya pengelolaan limbah dengan baik, maka limbah
akan semakin menumpuk (Kumoro, 2014).
Meningkatnya
daya beli masyarakat terhadap berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi
serta meningkatnya usaha atau kegiatan penunjang pertumbuhan ekonomi suatu
daerah juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kuantitas dan kualitas
sampah yang dihasilkan di lingkungan masyarakat. Manusia melakukan aktivitas
untuk menghasikan sesuatu barang produksi, maka akan timbul suatu limbah. Hal
tersebut dikarenakan belum adanya pengolahan yang dilakukan oleh manusia
menggunakan mesin dan juga sulitnya untuk mengolah barang yang tidak berguna
menjadi barang yang biasa dimanfaatkan (Dewi, 2015).
Sampah
merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia
pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding
dengan tingkat konsumsi terhadap barang atau material yang digunakan
sehari-hari. Pertokoan dan warung-warung makanan yang ada di lingkungan sekitar
merupakan salah satu dari sumber mikroplastik. Sumber limbah mikroplastik yang
berasal dari pertokoan atau warungwarung makanan antara lain adalah:
kantong-kantong plastik baik kantong plastik yang berukuran besar maupun kecil,
bungkus nasi, kemasan-kemasan makanan siap saji dan botol-botol minuman plastic
(Bangun, 2017).
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa
dapat mengetahui dan menganalisis kandungan mikroplastik
yang terdapat pada sedimen.
2. Mahasiswa
dapat memahami cara untuk menganalisis mikroplastik
pada sedimen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pelet
merupakan mikroplastik primer yang langsung diproduksi oleh pabrik sebagai
bahan baku pembuatan produk plastik. Berdasarkan hasil analisa, kelimpahan
fragmen ditemukan paling tinggi antara kedua kedalaman. Kelimpahan film
memiliki kelimpahan tinggi setelah kelimpahan fragmen dan yang di peringkat
ketiga yaitu fiber. Hal ini dibuktikan karena fragmen merupakan hasil potongan
produk plastik dengan polimer sintesis yang sangat kuat, film yang memiliki
densitas lebih rendah dari fiber sehingga mudah ditransportasikan dan fiber
yang berasal dari adanya aktivitas penangkapan (Pratomo, 2011).
Kelimpahan
mikroplastik berdasarkan pada kedalaman sedimen 0-10 cm dan 10-20 cm. Hal ini
bertujuan untuk melihat perbedaan kelimpahan terhadap pengendapan sedimen pada
kedalaman yang berbeda. Pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm kelimpahan
mikroplastik yang ditemukan berupa fragmen, film dan fiber. Kelimpahan
mikroplastik pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm tidak berbeda nyata, jika
dilihat dari pola distribusi kelimpahan mikroplastik antar kedalaman. Pola
distribusi kelimpahan mikroplastik antar kedalaman cenderung menunjukkan pola
yang sama antara batas mangrove terluar dengan batas mangrove terdalam.
Berdasarkan analisis deskriptif, perbedaan kedalaman pengambilan sedimen mikroplastik
tidak mempengaruhi kelimpahan mikroplastik (Bangun, 2017).
Hasil
uji bahwa kelimpahan film, fiber, fragmen, pelet maupun kelimpahan total tidak
berbeda nyata antar kedalaman. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sedimen
mangrove dapat merangkap mikroplastik hingga kedalaman lebih dari 30 cm tanpa
adanya perubahan kelimpahan tekstur sedimen setiap stasiun yang didominasi oleh
tesktur lempung berpasir, kecuali tekstur sedimen Stasiun 3 didominasi oleh
lempung. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa sedimen lunak lebih dapat
merangkap debris dibandingkan habitat berbatu kerikil (Dewi, 2015).
Burn
merupakan cara penanggulangan limbah plastik dengan cara pembakaran dan
biodegradation yang menggunakan mikroba secara biologis atau alami. Metode atau
cara penanggulangan limbah plastik yang paling aman dan bersahabat terhadap
lingkungan adalah metode biodegradation atau biodegradasi. Metode biodegradasi
sifatnya alami dan tidak menimbulkan zat baru yang dapat membahayakan
lingkungan (Edward, 2014).
Jika
dilihat dari sudut pandang kebutuhan manusia akan plastik yang sukar untuk
dikurangi apalagi dihindari, maka diperlukan suatu terobosan baru atau
alternatif untuk mengatasi masalah kelestarian lingkungan tanpa merugikan
manusia. Salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah dengan
menciptakan produk bioplastik yang lebih mudah terbiodegradasi sehingga aman
bagi lingkungan (Dewi, 2015).
Plastik
yang terbuat dari pati bersifat isotropik, tidak berbau, tidak berasa, tidak
beracun dan biodegradable. Plastik ini biasanya juga mempunyai kekuatan mekanik
yang tinggi dan dapat berfungsi sebagai penghalang gas, terutama oksigen,
karbon dioksida dan lemak. Sifat fisik, ketahanan terhadap bahan kimia dan
sifat mekanik plastik yang terbuat dari pati sangat mirip dengan plastik dari
bahan dasar minyak bumi. Plastik yang terbuat dari pati juga lebih kuat dan
fleksibel jika dibandingkan dengan plastik dari lemak dan protein. Beberapa
penelitian pada dasawarsa yang lalu telah mulai menggunakan tepung sebagai bahan
baku dalam pembuatan plastic (Kumoro, 2014).
NOAA
(2013) mendeskripsikan sampah laut (marine debris) sebagai benda padat
persistent, diproduksi atau diproses oleh manusia, secara langsung atau tidak
langsung, sengaja atau tidak sengaja, dibuang atau ditinggalkan di dalam
lingkungan laut. Tipe sampah laut di
antaranya plastik, kain, busa, styrofoam (untuk selanjutnya menerangkan gabus),
kaca, keramik, logam, kertas, karet, dan kayu.
Kategori ukuran digunakan untuk mengklasifikasikan marine debris, yaitu
megadebris (> 100 mm), makrodebris (> 20-100 mm), mesodebris (> 5-20 mm),
dan mikrodebris (0.3-5 mm) (Pratomo, 2011).
Potensi
efek sampah laut secara kimia cenderung meningkat seiring menurunnya ukuran
partikel plastik (mikroplastik), sedangkan efek secara fisik meningkat seiring
meningkatnya ukuran makrodebris.
Makrodebris memberikan dampak secara fisika seperti menutup permukaan
sedimen dan mencegah pertumbuhan benih mangrove. Potensi sampah menjadi masalah
utama pencemaran pesisir, namun sedikit informasi kuantitatif mengenai
pencemaran sampah laut di ekosistem mangrove.
Selain itu, permasalahan sampah laut belum menjadi perhatian dalam
menentukan strategi pengelolaan ekosistem.
Distribusi sampah laut di ekosistem mangrove merupakan informasi
kuantitatif dalam menentukan strategi pengelolaan ekosistem mangrove (Edward,
2014).
Berbagai sumber dan proses bisa menjadi titik awal
pelepasan atau pembentukan mikroplastisitas. Berbagai penelitian telah
menunjukkan adanya mikroplastisitas di semua samudera dunia sampai ke laut
dalam Kutub Utara, namun juga di perairan pedalaman Di sekitar daerah padat penduduk, konsentrasi mikroplastik yang lebih
tinggi telah diamati, menunjukkan korelasi konsentrasi mikroplastik dengan
kepadatan penduduk Selain itu, konsentrasi mikroplastisitas di pantai juga
cenderung bergantung pada industri lokal. Hal ini mengindikasikan peningkatan
konsentrasi yang diamati di dekat perusahaan penghasil plastik dan pelabuhan (Bangun, 2017).
Partikel mikroplastik terapung diserap oleh aliran air.
Dengan cara ini, mikroplastisitas akhirnya mencapai laut melalui sungai. Di
sini, arus laut menyebarkan mikroplastik.
Untuk
akumulasi jenis ini, lima arus utama vortex di lautan di dunia bertanggung
jawab, di mana menggerakkan plastik dan mikroplastisitas sebagian besar
terjebak karena arus yang beredar, sehingga mengumpulkan lebih banyak dan lebih
banyak sampah penggerak.
Penumpukan limbah dapat dipicu oleh pembuangan limbah yang sembarangan dan
tempat penampung sampah yang kurang memadai, sehingga sampah menumpuk di suatu
tempat yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan sekitar (Dewi, 2015).
Jumlah partikel microplastic bergerak di kisaran yang
sama seperti di pantai laut. Partikel mikroplastik yang ditemukan terutama
fragmen dari bagian yang lebih besar, yaitu mikroplastik sekunder, dan terdiri
dari sebagian besar polimer dengan densitas rendah. Fragmen tersebut memiliki
jejak peluruhan yang sangat mirip dengan partikel yang ditemukan di lingkungan
laut. Fenomena ini terjadi ke angin selatan yang relatif kuat
yang menyebabkan sirkulasi permukaan yang kuat dan arus berputar di ujung utara
danau. Mikroplastik didefinisikan
sebagai polimer sintetis padat dan tidak larut (plastik) yang lebih kecil dari
lima milimeter (Pratomo, 2011).
Sungai dan danau dipandang sebagai sumber utama
mikroplastisitas yang mungkin terjadi di perairan laut karena hanya sekitar 20%
mikroplastik laut yang diperkenalkan langsung ke laut, sementara 80% sisanya
diyakini berasal dari daratan (tempat pembuangan sampah, limbah, sungai) Jika lumpur limbah diaplikasikan ke ladang untuk pembuahan, partikel
plastik juga sampai ke ladang. Dari sana, mereka bisa tersebar di udara lebih
jauh di lingkungan saat cuaca sudah kering. Ini adalah penjelasan untuk fakta
bahwa partikel mikroplastik terdeteksi bahkan dalam madu (Kumoro, 2014).
Mikroplastik juga bisa disebabkan oleh makhluk hidup di
dasar air, Misalnya wattwarks. Wattwurmer juga bioturbator, h. Mereka
terburu-buru melalui dan mencampur sedimen, dimana mikroplastik dapat dicampur
ke dalam sedimen di dasar air. Hewan lain, yang juga hidup di dasar air, dapat
membawa mikroplastik ke dalam tubuh mereka. Di sini, teripang, bintang laut,
bulu babi dan bintang ular adalah contohnya. Mikroplastik telah ditemukan pada
ikan dan kotoran hewan singa laut, yang mengindikasikan adanya transfer
partikel ke dalam rantai makanan laut.
Berbeda dengan
sampling sampel air, tidak ada metode seragam untuk pengumpulan sampel sedimen.
Sebagai aturan, pantai dengan pinset, sendok atau dengan tangan diseleksi
secara selektif dengan microplastik
(Edward, 2014).
Potensi
efek sampah laut secara kimia cenderung meningkat seiring menurunnya ukuran
partikel plastik (mikroplastik), sedangkan efek secara fisik meningkat seiring
meningkatnya ukuran makrodebris. Makrodebris memberikan dampak secara fisika
seperti menutup permukaan sedimen dan mencegah pertumbuhan benih mangrove.
Penelitian ini terfokus pada makrodebris dan mikroplastik (salah satu tipe
mikrodebris). Potensi sampah menjadi masalah utama pencemaran pesisir, namun sedikit
informasi kuantitatif mengenai pencemaran sampah laut di ekosistem
mangrove. Selain itu, permasalahan
sampah laut belum menjadi perhatian dalam menentukan strategi pengelolaan
ekosistem (Dewi, 2015).
Film
merupakan polimer plastik sekunder yang berasal dari fragmentasi kantong
plastik atau plastik kemasan dan memiliki densitas terendah. Fiber merupakan serat plastik memanjang dan
berasal dari fragmentasi monofilamen jaring ikan, tali, dan kain sintetis. Fragmen merupakan hasil potongan produk
plastik dengan polimer sintetis yang sangat kuat. Pelet merupakan mikroplastik primer yang
langsung diproduksi oleh pabrik sebagai bahan baku pembuatan produk plastic.
Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh dengan melakukan
observasi langsung di lapangan (in situ) (Bangun, 2017).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan pada hari Selasa 9 November 2017 pada pukul 13.00 WIB di
Laboratorium Oseanografi dan Instrumentasi Kelautan Program Studi Ilmu Kelautan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya.
3.2 Alat dan Bahan
No. Alat dan Bahan Fungsi
1
|
Mikroskop
|
|
Untuk menganalisis sampel
|
2
|
Timbangan analitik
|
|
Untuk mengukur beratsampel
|
3
|
Oven
|
|
Untuk mengeringkan sampel
|
4
|
Alat tulis
|
|
Mencatat data
|
6
|
Gelasukur
|
|
Untuk mengukur volume larutan
|
7
|
NaCl
|
|
Sebagai reagen
|
8
|
Tabung erlenmeyer
|
|
Sebagai wadah untuk mencampurkan larutan
|
9
|
Tabung reaksi
|
|
Sebagai tempat sampel
|
10
|
Pipet
serologis
|
|
Untuk menetukan volume suatu larutan
|
11
|
Saringan
|
|
Sebagai penyaring
|
12
|
Aqudest
|
|
Sebagai pelarut
|
13
|
Sampel
|
|
Yang akan dianalisis
|
3.3
Cara Kerja
DAFTAR PUSTAKA
Bangun A P. 2017. Jenis Dan Kepadatan
Sampah Laut (Makro Dan Mikro Plastik) Serta Dampaknya Terhadap Kepadatan Makro
Zoobenthos Di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Jurnal USU. Vol 4(2):114-123.
Dewi I S, Anugrah A B, Irwan R R. 2015.
Distribusi mikroplastik pada sedimen di Muara Badak, Kabupaten Kutai
Kartanegara. Depik. Vol 4(3):
121-131. ISSN 2089-7790.
Edward. 2014. Kandungan Mikroplastik
dalam sedimen di Perairan Teluk Wawobatu, Kendari, Sulawesi Tenggara. Depik. Vol 3(2) :157-165. ISSN
2089-7790.
Kumoro A C, Aprilina P. 2014. Sifat
Mekanik Dan Morfologi Plastik Biodegradable Dari Limbah Tepung Nasi Aking Dan
Tepung Tapioka Menggunakan Gliserol Sebagai Plasticizer. Teknik. Vol 35(1): 8-16.
ISSN 0852-1697.
Pratomo H, Eli R. 2011. Bioplastiknata De Cassava Sebagai Bahan
Edible Film Ramah Lingkungan. Jurnal Penelitian Saintek. Vol 16(2):
172-190.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
4.1.1
Tabel Larutan Standart
4.1.2
Kurva Larutan Standar
4.1.3 Tabel Konsentrasi
Sampel
Pada
hasil diatas dapat dilihat nilai dari absorbansi larutan standart yang digunaka
dengan konsentrasi 0.5, 1, 1.5, dan 2.5 adalah 0.008, 0.015, 0.021, dan 0.035
yang dimana tertinggi berada pada konsentrasi 2.5 dengan nilai absorbansinya
adalah 0.035 dan yang paling rendah terdapat pada konsentrasi 0.5 dengan nilai
absorbansinya 0.008. Larutan standar ini digunakan dalam analisis jumlah
mikroplastik yan ada pada sampel air yang ada yang dimana larutan standart ini
berfungsi sebagai larutan pendukung yang digunakan untuk menganalisis kandungan
mikroplastik yang terdapat pada sampel.
Tingginya
nilai absorbansi dari larutan standart dengan konsentrasi 2.5 dapat dilihat
daru kurva yang ada pada gambar kedua yang dimana terus terjadi peningkatan
nilai absorbansi dari larutan standart yang digunakan seiring dengan
bertambahnya nilai konsentrasi yang digunakan dalam menganalisis kandungan
mikroplastik sampel tersebut. Peningkatan nilai absorbansi yang relative besar
dapat dilihat dari nilai konsentrasi 1.5 ke konsntasi larutan standart 2.5.
Dari
ke tiga sampel yang digunakan dalam analisis kandungan mikroplastik dalam
sampel tersebut yang tertinggi berada pada sampel 1(satu) dengan nilai
absorbansinya adalah 0.0044dan nilai konsentrasinya adalah 2.4046 dan yang
terendahnya terdapat pada sampel ke 2(dua) dengan nilai konsentrasinya adalah
1.9456 dan nilai absorbansinya adalah 0.0038. dapat dilihat bahwa yang memiliki
kandungan mikroplastik tersuspensi dalam air terbesar berada pada sampel
pertama yang kedua pada sampel ketiga dan yang terendah terdapat pada sampel
kedua.
Potensi
efek sampah laut secara kimia cenderung meningkat seiring menurunnya ukuran
partikel plastik (mikroplastik), sedangkan efek secara fisik meningkat seiring
meningkatnya ukuran makrodebris. Makrodebris memberikan dampak secara fisika
seperti menutup permukaan sedimen dan mencegah pertumbuhan benih mangrove.
Penelitian ini terfokus pada makrodebris dan mikroplastik (salah satu tipe
mikrodebris). Potensi sampah menjadi masalah utama pencemaran pesisir, namun
sedikit informasi kuantitatif mengenai pencemaran sampah laut di ekosistem
mangrove. Selain itu, permasalahan
sampah laut belum menjadi perhatian dalam menentukan strategi pengelolaan
BAB V
KESIMPULAN
1. Nilai
absorbansi yang tertinggi terdapat pada sampel satu dengan nilai 0.0044.
2. Nilai
absorbansi yang terendah terdapat pada sampel kedua dengan nilai 0.0038.
3. Nilai
absorbansi dari larutan standart yang digunakan terjadi peningkatan seiring
dengan bertambahnya nilai konsentrasi
4. Sampel
yang paling banyak mengandung mikroplastik adalah sampel yang pertama.
5. Sampel
yang paling sedikit mengandung mikroplastik adalah sampel yang kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar